Woensdag 29 Mei 2013

Beranda » » Perang Sektarian di Ambang Pintu

Perang Sektarian di Ambang Pintu

Thank you for using rssforward.com! This service has been made possible by all our customers. In order to provide a sustainable, best of the breed RSS to Email experience, we've chosen to keep this as a paid subscription service. If you are satisfied with your free trial, please sign-up today. Subscriptions without a plan would soon be removed. Thank you!

Home Analisa Dunia Islam

Perang Sektarian di Ambang Pintu?

 
Pendukung Hizbullah membawa foto Nasrallah membela Bashar Asaad
 

Kamis, 30 Mei 2013

Oleh: Musthafa Luthfi

BARANGKALI di era al-Rabei al-Arabi (Arab Spring) ini, Israel tidak perlu bersusah-payah melakukan provokasi untuk menyulut perang sektarian di kawasan, pasalanya krisis Suriah yang berlarut-larut semakin membuka lebar meletusnya perang sektarian. Betapa tidak, masker gerakan perlawanan seperti Hizbullah benar-benar telah terkuak di mata publik Arab sebagai gerakan yang ternyata mengusung kepentingan aliran tertentu di kawasan.

Sebelum lebih jauh menyelami peran gerakan yang konon paling ditakuti Israel itu, mari kita mengilasbalik terlebih dahulu perang musim panas tahun 2006 antara Hizbullah dan negara zionis itu. Pada perang tersebut, selain terjadi semacam perimbangan ketakutan (balance of fear) antara kedua belah pihak terkait kemampuan masing-masing pihak untuk menghancurkan target musuh, juga ada upaya Israel untuk menyulut perang atau paling tidak benturan sektarian di dunia Arab.

Dalam perang musim panas yang berlangsung sekitar sebulan itu, salah satu gebrakan negeri zionis tersebut untuk menyulut bentrokan antar golongan (Sunni-Syiah) adalah dengan mengklaim bahwa perang kali ini bertujuan menghancurkan Hizbullah dan kaum Syiah yang melindunginya. Karena itu, pasukan Israel pun sengaja mengkonsentrasikan serangan atas target-target kaum Syiah di Libanon.

Seperti kata pepatah "bagaikan gayung bersambut", sejumlah pemerintahan Arab saat itu melimpahkan tanggungjawab kepada Hizbullah atas eskalasi tersebut dan menyebut perlawanan itu sebagai "petualangan tanpa perhitungan" untuk kepentingan pihak tertentu. Dapat dipastikan pihak yang dimaksud adalah dua negara sekutu Hizbullah yakni Iran yang mayoritas Syiah dan Suriah yang meskipun berpenduduk mayoritas Sunni, namun pemerintahannya dikuasai Syiah.

Di dalam negeri pun Hizbullah mendapat pukulan telak dengan pernyataan PM Fuad Siniora dari kalangan Sunni yang menilai bahwa Hizbullah tidak berkonsultasi dengan pemerintah sehingga tanggung jawab hanya dibebankan pada gerakan tersebut atas malapetakan perang. Belum sampai di situ, "tusukan" ke punggung Hizbullah bertambah dalam, ketika sejumlah ulama Sunni Arab menyerukan kaum Sunni untuk tidak mendukung Hizbullah yang Syiah dalam perang 2006 tersebut.

Berbagai indikasi sikap sejumlah pemimpin Sunni dalam perang 2006 itu, sempat memunculkan kekhawatiran di kalangan publik Arab bahwa perang ini atau dampak setelahnya akan menghembuskan perang sektarian. Namun pembantaian tentara Israel atas warga sipil Syiah di pedesaan Qana, Libanon Selatan saat perang memasuki minggu keempat, memupuskan target zionis, sebab seluruh dunia Arab baik Sunni maupun Syiah kembali mendukung Hizbullah dan mengecam aksi biadan Israel tersebut.

Itulah gambaran singkat tentang upaya Israel menghembuskan perang antar golongan di dunia Arab pada perang 2006 yang tidak lain tujuannya adalah untuk semakin melemahkan solidaritas Arab yang memang sedang berada pada fase yang sangat lemah guna melupakan isu sentral mereka yakni isu Palestina. Untungnya, pembantaian Qana yang menyebabkan puluhan warga sipil gugur oleh serangan angkatan udara Israel berhasil menggagalkan strategi zionis.

Menurut sejumlah sumber di Arab, upaya Israel untuk menciptakan "saling curiga" antar ideologi dan mazhab itu bukanlah hal baru, namun merupakan target lama yang sudah dicanangkan sejak 1954. Mendiang PM Israel Ben Gurion dan tokoh zionis lainnya Moshe Sharet telah mencanangkan "perang antar golongan dan mazhab" di Libanon sebagai cara melemahkan negeri itu.

Sebuah majalah Israel juga memuat rencana Gurion itu pada edisi 29 Oktober 1971, menegaskan tentang kebenaran rencana yang sedianya sudah dapat dilaksanakan pada 1954. Namun rencana busuk tersebut selalu gagal, karena tidak mendapat dukungan dari kalangan elit politik di dalam negeri Libanon, hingga terjadinya 12 Juli 2006, Tel Aviv mencoba kembali "senjata" idiologi mazhab tersebut.

Namun negeri itu salah perhitungan dengan aksi biadabnya yang ditujukan kepada target sipil Syiah sebab holocaust kedua di Qana telah memupuskan segalanya. Sunni-Syiah makin bersatu baik di tingkat resmi maupun di tingkat rakyat dan ulama di Libanon sendiri dan di dunia Arab umumnya saat itu serta mereka sadar bahwa budaya "permusuhan" Sunni-Syiah adalah siasat Israel untuk melemahkan dunia Arab.

Terbuka

Namun kali ini, saat krisis Suriah masih berlarut, Israel tidak perlu bersusahpayah mengerahkan militernya untuk memprovokasi meletusnya perang sektarian di kawasan. Peluang perang atau bentrokan sektarian semakin terbuka saat ini, baik saat perang saudara masih berlangsung maupun setelah berakhirnya perang tersebut di negeri itu, dengan siapa pun pemenangnya.

Kota Quseir di Homs Suriah sebagai fokus lokasi pertempuran sengit antara pasukan oposisi Suriah dan pasukan pemerintah yang didukung milisi Hizbullah Libanon besar kemungkinan akan berdampak terhadap munculnya perang sektarian dimaksud. Pihak pasukan oposisi menyatakan telah berhasil menewaskan puluhan orang milisi bersenjata Hizbullah yang ingin menyusup ke wilayah Quseir, sementara Hizbullah sendiri secara terang-terang menyatakan ikut berperang mendukung pasukan rezim Assad.

Qusair adalah wilayah yang menjadi perebutan antara kelompok oposisi dan rezim Suriah karena letaknya yang strategis di perbatasan Libanaon yang dapat dimanfaatkan sebagai pintu masuk suplai senjata. Sejumlah pertempuran besar berulangkali terjadi di sini, di mana pasukan bersenjata Hizbullah terang-terangan terlibat di dalamnya.

Paska keterlibatan Hizbullah dalam peperangan di Qusair, menjadi sulit bagi mereka untuk mundur kembali mengingat perkembangan perang yang semakin sengit bahkan akan meluas ke negeri tetangga terutama di Libanon yang telah mulai terdengar bentrokan bersenjata antara warga Sunni dan Syiah. Hizbullah dilaporkan mengerahkan lebih dari 5 ribu pasukannya untuk menyerang daerah strategis tersebut agar tetap dapat dimanfaatkan sebagai pintu masuk suplai senjata Iran untuk rezim Assad.

Pertempuran sengit di wilayah itu berbarengan pula dengan persiapan pelaksanaan konferensi internasional di Jenewa yang akan dihadiri oleh semua pihak yang terlibat krisis Suriah pada bulan Juni mendatang sebagai "upaya terakhir" penyelesaian politis krisis tersebut. Namun indikasi solusi militer masih kuat sehingga sejumlah pengamat menilai pembicaraan tentang solusi politis tak lebih sebagai kamuflase untuk solusi militer.

Di antara indikasi solusi militer tersebut adalah tekad Sekjen Hizbullah, Hassan Nasrullah untuk mengerahkan seluruh kekuatannya guna mendukung rezim Assad yang dianggapnya sebagai rezim pendukung perlawanan terhadap Israel. Posisi ini dikedepankan dalam pidatonya Sabtu (25/05/2013) memperingati 13 tahun mundurnya Israel dari Libanon Selatan, dengan dalih melawan kekuatan-kekuatan ``takfir`` yang ikut berperang melawan rezim Assad.

Padahal menurut banyak kalangan, kekuatan-kekuatan "takfir" yang menjadi alasan rezim Assad mempertahankan kekuasaannya, juga alasan Hizbullah terlibat langsung dalam perang saudara di Suriah, hanya sekelompok kecil yang menolak berada dibawah pimpinan pasukan oposisi Al-Jeish Al-Hurr (Tentara Kebebasan). Padahal, Al-Jeish Al-Hurr inilah sebagai tulang punggung pejuang oposisi untuk menjatuhkan rezim Assad.

Indikasi lainnya adalah manuver (latihan perang-perangan) Israel untuk memperkuat front di dalam negeri mengantisipasi kemungkinan serangan roket dan senjata kimia dari Suriah.

"Indikasi-indikasi tersebut menunjukkan bahwa solusi militer masih dikedepankan daripada solusi politis meskipun banyak pihak yang masih opitimis akan solusi politis pada Juni mendatang,`` papar sejumah analis Arab.

Adapun indikasi semakin terbukanya peluang perang sektarian atau minimal benturan sektarian baik saat krisis Suriah masih berlangsung ataupun setelahnya dapat dilihat dari semakin antipatinya publik Arab golongan Sunni terhadap Hizbullah yang selama ini dianggap salah satu simbol perjuangan bangsa Arab melawan Israel. Mereka tampaknya sangat kecewa, setelah mengetahui gerakan itu tak lebih hanya mengusung kepentingan Iran untuk melakukan hegemoni di kawasan bukan untuk kepentingan isu Palestina.

Pernyataan sejumlah pejabat tinggi negara-negara kawasan dalam beberapa hari belakangan ini juga semakin memperkuat kekhawatiran timbulnya perang sektarian dimaksud.
Wakil PM Turki, Bekir Bozdag, dalam sebuah simposium internasional di Ankara, Ahad (26/05/2013), misalnya menyebut Hizbullah (Partai Allah) sebagai Hizbus Syaithan (Partai Setan) karena terlibat dalam pembunuhan warga sipil di Suriah.

Bozdag melimpahkan tanggungjawab kepada Hizbullah dan rezim Suriah atas kemungkinan terjadinya perselisihan sektarian di kawasan. Sedangkan Menlu Bahrain, Sheikh Khalid Al Khalifa pada Ahad (26/5/2013) juga menyebut Sekjen Hizbullah sebagai teroris sehingga menyelamatkan Libanon dari ``cakarannya`` sebagai kewajiban agama dan bangsa Arab.

"Nasrallah telah menyatakan perang terhadap bangsanya sendiri setelah beberapa saat dari pernyataannya yang akan mendukung rezim Assad untuk memenangkan pertempuran dalam perang saudara di Suriah. Kita berkewajiban untuk menyelamatkan Libanon dari cakarannya," tegas Menlu Bahrain seperti dikutip harian al-Sharq al-Awsath, Senin (27/05/2013).

Terfokus

Intinya, penyebab kemungkinan meletusnya perang sektarian itu terfokus pada keterlibatan Hizbullah membela mati-matian rezim Assad dan menilainya sebagai kewajiban "jihad" sesuai tugas yang diperintahkan oleh Wali Faqih (pemimpin spiritual Syiah) di Teheran. ``Jihad`` tersebut sebenarnya telah dimulai sekitar setahun yang lalu dengan jalan melindungi warga Syiah di Libanon yang tinggal di perbatasan dengan Suriah.

Jihad ini kemudian berkembang menjadi perjuangan membela rezim Assad yang tidak mampu memenangkan perang di Quseir tanpa bantuan Hizbullah dan Legiun Al-Quds (Iran). Sudah menjadi rahasia umum, rezim Suriah tidak akan bertahan lama tanpa dukungan penuh Iran dan demikian pula dengan Hizbullah, tidak akan terlibat langsung membela Assad tanpa perintah dari negeri Persia itu.

Hassan Nasrallah telah menegaskan usai kunjungannya ke Iran bahwa ``Suriah memiliki sahabat yang tidak akan membiarkannya jatuh ke tangan AS dan Israel atau tangan kelompok-kelompok takfir``, demikian istilah yang ia sebutkan kepada kelompok pejuang oposisi anti rezim Assad. Janji tersebut akhirnya telah dibuktikan dengan ``berjihad`` di pihak rezim melawan apa yang disebutnya ``kelompok takfir dan agen Israel`` itu.

Hizbullah juga merasa tenang di front perbatasan dengan Israel karena negeri zionis itu sejatinya berkepentingan dengan bertahannya rezim Assad untuk waktu yang cukup lama. Majalah Times, Inggris beberapa hari lalu menyebutkan bahwa para pemimpin Israel lebih memilih Assad tetap berkuasa dan mendukung berlarut-larutnya perang di Suriah.

Sekarang Hizbullah menjadi perhatian banyak tokoh dan publik Arab atas perubahan sikap yang sebelumnya ditonjolkan yakni menjauhkan diri terlibat dalam krisis Suriah. ``Apakah pantas rezim Assad dibela yang telah membunuh puluhan ribu rakyat, membunuh banyak tokoh Suriah, menyebabkan jutaan rakyat Suriah terpaksa mengungsi, membunuh banyak tokoh Libanon?`` itulah barangkali pertanyaan besar publik terhadap Hizbullah.

"Paling tidak, publik telah melihat bahwa perubahan sikap Hizbullah membela rezim Assad bukan karena dalam kapasitas sebagai koalisi politik, akan tetapi kaolisi golongan untuk mempertahankan kekuasaan minoritas Syiah Suriah. Itulah yang menyebabkan pertempuran sangat sengit di Quseir sebab pedesaan Homs adalah pengikat kuat antara Syiah di Libanon dan Suriah,`` papar Abdullah Iskandar, seorang analis Arab.

Paling tidak sikap Hizbullah itu sulit dilupakan warga Sunni Arab. Apabila perang sektarian dalam waktu dekat tidak terjadi, minimal krisis Suriah akan berdampak panjang dan menjadi ladang subur bagi benih perpecahan sektarian ke depan terlepas siapa pemenang dalam perang saudara berkelanjutan di negeri Syam tersebut.*/Sana`a, 20 Rajab 1434 H

Penulis kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Yaman


Red: Cholis Akbar

29 May, 2013


-
Source: http://hidayatullah.com/dev/read/28770/30/05/2013/perang%20sektarian%20di%20ambang%20pintu%20.html
--
Manage subscription | Powered by rssforward.com Description: Perang Sektarian di Ambang Pintu

Description: Perang Sektarian di Ambang Pintu - Rating: 4.5 - Reviewer: Unknown - ItemReviewed: Perang Sektarian di Ambang Pintu